Sabtu, 04 Oktober 2014

                                                SEJARAH DESA WOTAN



            Pada jaman dahulu ada seorang guru yang bernama Nyai Ageng Shelang dan tiga seorang laki-laki (murit dari Nyai Ageng Shelang) dan mereka sedang membabat tanah di hutan.
                Nyai Ageng Shelang adalah seorang sesepuh yang sakti, dia terkenal sebagai orang yang berwibawa, pantang menyerah dalam melakukian berbagai hal dan dia juga sangat baik terhadap orang lain di sekitarnya.
                Tiga laki-laki tersebut antara lain adalah Ki Gedhe Sono, Ki Gedhe Sukolilo dan Ki Gedhe Sepandhan. Mereka adalah pengawal sekaligus murit dari Nyai Ageng Shelang, mereka selalu patuh dan tidak pernah mengabaikan perintah dari gurunya tersebut ( Nyai Ageng Shelang . ketiga saudra Laki-laki tersebut selalu kompak dalam melaksanakan tugasnya dan saling bergotong royong. Oleh kaena itu ketiga saudara laki-laki tersebut dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang patuh terhadap gurunya.
                Pada suatu pagi hari yang gemilau, damai, cerah dan bahkan matahari pun sangat terang hingga membuat warna langit menjadi biru hingga Nyai Ageng Shelang pun terbangun . dia pun mulai bangkit, keluar dari tempat tidur dan Nyai Ageng Shelang pun bergegas menuju sumur untuk menggusur seluruh tubuhnya.
                Seusai mandi Nyai Ageng Shelang pun bergegas menghampiri ketiga saudara laki-lakinya itu untuk pergi ke hutan Glagah karena Nyai Ageng Shelang dan ketiga saudara laki-laki ingin mendirikan sebuah Desa.
                “wahai ketiga saudaraku, mari kita pergi kehutan Glagah untuk mendirikan Desa disana”, kata Nyai Ageng Shelang kepada tiga saudaranya. “baiklah guru”. Jawab ketiga saudara Nyai Ageng Shelang dengan semangat.
                Perjalanan menuju hutan Glagah sangat jauh dan harus melewati beberapa jembatan yang terbuat dari kayu atau bambu (WOT) dan tidak ada jalan lainya.
                Seorang yang Nampak memerah senja semakin memudar beranjak menghitam ketika kakinya menyentuh halus kuliy bumi dimana Nyai Ageng Shelag dan ketiga saudara laki-lakinya itu berharap dapat menyandarkan dan melepaskan segala kepengapan dan keresahan hati. Berkali-kali mereka menyeberangi WOT (jembatan dari kayu atau bambu) di sepanjang jalan menuju kehutan Glagah.
                “Sampai kapan kita sampai di hutan Glagah tuanku” Tanya Ki Ageng Gedhe Sukolilo (dengan suara yang rendah). “jangan menyerah terlebih dahulu sebelum kita menemukannya, kita harus semangat menelusuri dimana hutan Glagah itu berada” jawab Nyai Ageng Shelang.
                Setelah menelusuri sepanjang WOT akhirnya mereka menemukan juga hutan Glagah itu berada.
                Malam hari yang dingin dan cuaca yang tidak mendukung dengan disertai hujan sehingga mereka memutuskan untuk bermalam di hutan Glagah tersebut. Merka pun membuat tenda di hutan untuk dibuat tidur untuk mereka  dan mereka akan memulai aksinya di esok hari.
                “Wahai ketiga saudaraku” terpaksa kita bermalam dihutan Glagah ini karena cuaca yang dingin dan dengan disertai hujan turun, kita tidak bisa memulai aksi kita” kata Nyai Ageng Shelang. “baiklah tuanku”. Jawab ketiga saudara laki-laki (dengan serentak). “kami akan membuat tenda agar kita bisa tidur serta istirahat di hutan Glagah ini” kata Ki Gedhe Sepandhan.
                “ide yang bagus saudaraku, terpaksa kita harus bermalam di hutan Glagah ini karena cuaca yang dingin ini dan dengan disertai hujan turun. Kita tak bisa melakukan apa-apa.”  Kata Nyai Ageng Shelang.
                Dalam keletihan melewati perjalanan disepanjang jalan di sepanjang jembatan yang terbuat dari bambu dan akhirnya mereka pun terlelap dalam tidurnya.
                Hujan pun berhenti, tak terasa merah matahari pun mulai muncul di balik awan pagi hari hingga Nyai Ageng Shelang pun terbangun dari lelap tidurnya.ia pun bangkit dan keluar dari bilik tempat tidurnya dan tak lupa membangunkan ketiga saudara laki-lakinya yang masih terlelap dalam kelelahan tidurnya.
                Setelah itu Nyai Ageng Shelang bersama ketiga saudaranya mempersiapkan peralatan untuk memulai aksinya dan peralatan tersebut hanya Parang & Api. Parang dibawa oleh ketiga saudara laki-laki dan Api dibawa oleh Nyai Ageng Shelang.
                Kemudian mereka membabat rerimbun tanaman di hutandengan menggunakan Parang kemudian setelah di babat lalu di kumpulkan lalu di bakar.
                Tak lama kemudian api pun merambat sampai ke hutan Glagah itu.setelah hutan Glagah terbakar semua Nyai Ageng Shelang mengeluarkan ilmu andalanya Pethak Baginda Sulaiman. Ketika Nyai Ageng Shelang mengeluarkan ilmu tersebut munculah angin putting beliu g yang sangat besar sekali sehingga membuat serpihan api atau (langes) menyebar dan menjadi wilayah kekuasaan bagi Nyai Ageng Shelang tetapi saat terjadinya wilayah tersebut keadaan masih banyak rawa
                Selama hidup, nyai Ageng Shelang  bekerja sebagai Petani.
Karena jaman dahulu belum pernah ada jembatan yang terbuat dari besi dan beton dan saat mau pergi ke sawah dank e hutan selalu melewati WOT (jembatan dari bambu atau kayu) sehingga dari kata WOT tersebut akhirnya Nyai Ageng Shelang menamakan daerah tersebut menjadi DESA WOTAN.
                                Itulah cerita asal usul desa WOTAN (genderuWO dan seTAN).
Desa wotan sendiri terdiri dari beberapa Pedukuh antara lain:
1.       Dukuh SUKUNAN.
Dinamakan Dukuh Sukunan karena dulunya di Desa Sukunan banyak sekali pohon Sukun sehingga warga sekitar menyebutnya Desa SUKUNAN.
2.       Dukuh PANDEAN.
Dinamakan Desa Pandean  karena dulu di Desa Pandean ada seorang warga yang bekerja sebaga Pandai (pengrajin benda dari besi atau pembuat pisau dan lainya). Ketika seorang warga yang bisa Mandai tersebut meninggal dunia dan warisan beliau di teruskan oleh warga sekitar  dan akhirnya masyarakat menamai Pedukuhan tersebut menjadi Dukuh PANDEAN.
3.       Dukuh KARANG ANYAR.
Dinamakan Dukuh Karanganyar karena dulunya belum ada rumah satu pun di sekitar daerah tersebut adanya hanya ladang-ladang saja. Setelah beberapa tahun kemudian ada beberapa daerah lain yang sering terkena banjir ketika turun hujan dan warga lain daerah itu sangat was-was ketika turun hujan sehingga warga dari laih daerah tersebut memutuskan untuk mengungsi bahkan pindah mencari tempat yang lebih aman dan tempat itu adalah Dukuh KARANG ANYAR.
4.       Dukuh KEDHUM.
Dinamakan Dukuh Kedhum darena berawal dari Punden (makam yang dikeramatkan) Desa Wotan terletak diwilayah itu dan Punden tersebut bernama Punden Kedhum. Sehingga masyarakat sekitar menyebutnya Dukuh KEDHUM yang persis dengan nama pundenya.
5.       Dukuh CEMPLONG.
Dinamakan Dukuh Cemplong karena awalnya jalan disekitar wilayah tersebut terdapat banyak sekali JEMBLONGAN (jalan berlubang/rusak) sehingga dinamakan Dukuh CEMPLONGAN.
6.       Dukuh JONGSO.
Dinamakan Dukuh Jongso karena waktu itu ada seorang yang bernama Yangkari. Beliau mempunyai kedukuhan diwilayah tersebut. Saat itu kedukuhan tersebut hanya ada satu rumah saja dan masyarakat yang belum punya tempat tinggal akhirnya membuat rumah di wilayah Jongso hingga akhirnya Pedukuhan Jongso pun menjadi banyak. Itulah cerita dari Dukuh JONGSO.
7.       Dukuh ASEM MANIS.
Dinamakan Dukuh Asem Manes karena dulu ada pohon asam yang sangt tinggi dan besar sekali. Tak cuma tinggi dan besar pohon asam tersebut juga berbuah asam yang rasanya manis sehingga masyarakat sekitar menamainya Dukuh ASEM MANIS.


Dan masih banyak yang lainnya....?

sejarah desa Bowong

                      SEJARAH DUKUH MBOWONG BESERTA PUNDENYA


 

            Jaman dahulu kala ada seorang guru yang bernama Nyai Jati Sari.
Nyai jati sari adalah seorang guru yang mempunyai kesaktian yang sangat hebat. Alkisah Pada suatu hari
Nyai Jati Sari ingin berkelana bersama enam (6) muritnya dengan mengendarai kuda dan mereka pun beristirahat di sebuah hutan. Pada saat itu Nyai Jati Sari menyuruh para muritnya untuk membersihkan hutan persinggahanya tersebut untuk dijadikan tempat peristirahatan dan bermusyawarah. Setelah dibersihkannya hutan persinggahan tersebut dibuatlah sebuah pondokan kecil untuk dijadikan tempat berteduh. Nyai Jati Sari beserta enam (6) muritnya dan Kuda-kudanya. Setelah pondokan itu jadi tiba-tiba disekitar pondokan tersebut keluarlah sumberan mata air yang keluar dari sebuah batu yang berbentuk Kendi.
                Suatu hari ketika kuda yang ditunggangi oleh Nyai Jati Sari berjalan disekitar pondokan, kuda tersebut melintasi sumber atau mata air tersebut kemudian air sumberan tersbut diminum oleh kuda tersebut dan air yang semula keluar sangat kecil kemudian perlahan menjadi semakin besar dan besar dari detik kedetik sehingga menjadi sungai yang mengalir.
                Pondokan Nyai Jati Sari sendiri berdiri pada tahun 1937 dan daerah pondokan Nyai Jati Sari pun di datangi oleh penduduk lain yang jumlahnya kurang lebih sepuluh (10) orang. Daerah tersebut sangat tentram dan aman-aman saja sewaktu ikut bermukim disitu.
                Hingga suatu hari ketika para pendatang lain sedang melakukan aktifitas tiba-tiba melihat adanya pesawat yang disebut dari Londho (BELANDA) yang ingin menjajah. Ketika pesawat itu terbang dan melintas di atas pondoan Nyai Jati Sati tiba-tiba pesawat tersebut berhenti da kemudian meledak setelah beberapa menit. Setelah mengetahui salah satu dari beberapa puluhan pesawat ada yang meledak dan jatuh di sekitar pondokan Nyai Jati Sari kemudian pesawat Belanda pun turun semua di tempat yang lumayan luas dan tidak jauh dari pondokan Nyai Jati Sari.
                Jenderal dari pasukan Belanda pun mengancam dan mengajak perang dengan penduduk yang tinggal di sekitar pondokan Nyai Jati Sari tersebut tetapi penduduk tersebut tidak berontak dan tidak berani melakukan apa-apa. Mereka hanya diam saja karena heran dengan benda yang jatuh dari atas dan meledak yang di tumpangi oleh Belanda tersebut.
                Karena warga tidak melakukan apa-apa dan hanya diam saja dan pasikan Belanda pun tidak menghasilkan apa-apa kemudian pasukan Belanda kembali ke tempat mereka mendaratkan pesawatnya dan memutuskan untuk pergi dari sekitar pondokan Nyai Jati Sari.
                Setelah kepergian pasukan Belanda, enam (6) murit Nyai Jati Sari kembali ke pondokan Nyai Jati Sari untuk bermusyawarah untuk mengatur setrategibagaimana caranya melawan pasukan dari Belanda tersebut kalau-kalau mereka kembali.
                Setelah itu Nyai Jati Sari pun mengumumkan untuk bersiap-siap untuk menyiapkan senjata kepada para penduduk kalau-kalau pasukan dari Belanda tersebut kembali lagi.
Pemikiran Nyai Jati Sari pun benar-benar terjadi, pasukan Belanda pun kembali mendatangi Pemukiman daerah Nyai Jati Sari untuk menyerang. Setelah pasukan Belanda menyerang penduduk Lainya pun tidak tinggal diam dan dilawanlah pasukan Belanda tersebut dengan menggunakan Bambu Runcing sehingga pasukan Belanda pun menyerah.
Dan dari kejadian perang antara warga pendatang beserta Nyai Jati Sari dengan pasukan Belanda tersebut yang menjadikan pasukan Belanda keteteran, para pasukan Belanda pun tidak berani mendatangi bahkan menginjak wilayah sekitar pondokan Nyai Jati Sari lagi dan akhirnya pasukan Belanda pun pergi ke tempat lain.
Setelah Nyai Jati Sari dan penduduk memenangkan perang tersebut kemudian Nyai Jati Sari pun mengajak enam (6) muritnya untuk kembali kepondokan untuk bermusyawarah kembali. Dari musyawarah tersebut Nyai Jati Sari dan keenam (6) muritnya memutuskan untuk mengejar pasukan Belanda. Akhirnya Nyai Jati Sari memutuskan untuk meninggalkan pondokan dari daerah itu dan mejadikan daerah tersebut desa.
Keesokan harinya Nyai Jati Sari mendoakan pondokan tersebut agar bisa terhindar dari mara bahaya dan memberikan nama untuk daerah pondokan tersebut dengan nama “MBOWONG”.
Diberi nama “MBOWONG” karena sewaktu pertama kali diserang oleh para pasukan Belanda penduduk di daerah tersebut melolak-melolok tidak bisa apa-apa dan sampai sekarang pun Pundeng Nyai Jati Sari masih dirawat oleh warga dan desa tersebut sampai sekarang pun masih bernama “MBOWONG”.
Desa “MBOWONG” terletak disebelah timur desa Krasak, sebelah barat Ploso Kunung, sebelah selatan desa Ngawen, sebelah utara desa Ngajaran di desa SUKOLILO.



Sekian, cekap semanten, terima kasih dan maturnuhun