Kamis, 30 Oktober 2014
Senin, 20 Oktober 2014
Sabtu, 04 Oktober 2014
SEJARAH
DESA WOTAN
Pada jaman dahulu ada seorang guru yang bernama Nyai Ageng Shelang
dan tiga seorang laki-laki (murit dari Nyai Ageng Shelang) dan mereka sedang
membabat tanah di hutan.
Nyai
Ageng Shelang adalah seorang sesepuh yang sakti, dia terkenal sebagai orang
yang berwibawa, pantang menyerah dalam melakukian berbagai hal dan dia juga
sangat baik terhadap orang lain di sekitarnya.
Tiga
laki-laki tersebut antara lain adalah Ki Gedhe Sono, Ki Gedhe Sukolilo dan Ki
Gedhe Sepandhan. Mereka adalah pengawal sekaligus murit dari Nyai Ageng Shelang,
mereka selalu patuh dan tidak pernah mengabaikan perintah dari gurunya tersebut
( Nyai Ageng Shelang . ketiga saudra Laki-laki tersebut selalu kompak dalam
melaksanakan tugasnya dan saling bergotong royong. Oleh kaena itu ketiga
saudara laki-laki tersebut dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang patuh
terhadap gurunya.
Pada
suatu pagi hari yang gemilau, damai, cerah dan bahkan matahari pun sangat
terang hingga membuat warna langit menjadi biru hingga Nyai Ageng Shelang pun
terbangun . dia pun mulai bangkit, keluar dari tempat tidur dan Nyai Ageng
Shelang pun bergegas menuju sumur untuk menggusur seluruh tubuhnya.
Seusai
mandi Nyai Ageng Shelang pun bergegas menghampiri ketiga saudara laki-lakinya
itu untuk pergi ke hutan Glagah karena Nyai Ageng Shelang dan ketiga saudara
laki-laki ingin mendirikan sebuah Desa.
“wahai ketiga saudaraku, mari kita pergi
kehutan Glagah untuk mendirikan Desa disana”, kata Nyai Ageng Shelang
kepada tiga saudaranya. “baiklah guru”. Jawab
ketiga saudara Nyai Ageng Shelang dengan semangat.
Perjalanan
menuju hutan Glagah sangat jauh dan harus melewati beberapa jembatan yang
terbuat dari kayu atau bambu (WOT) dan tidak ada jalan lainya.
Seorang
yang Nampak memerah senja semakin memudar beranjak menghitam ketika kakinya
menyentuh halus kuliy bumi dimana Nyai Ageng Shelag dan ketiga saudara
laki-lakinya itu berharap dapat menyandarkan dan melepaskan segala kepengapan
dan keresahan hati. Berkali-kali mereka menyeberangi WOT (jembatan dari kayu
atau bambu) di sepanjang jalan menuju kehutan Glagah.
“Sampai
kapan kita sampai di hutan Glagah tuanku” Tanya Ki Ageng Gedhe Sukolilo (dengan
suara yang rendah). “jangan menyerah terlebih dahulu sebelum kita menemukannya,
kita harus semangat menelusuri dimana hutan Glagah itu berada” jawab Nyai Ageng
Shelang.
Setelah
menelusuri sepanjang WOT akhirnya mereka menemukan juga hutan Glagah itu
berada.
Malam
hari yang dingin dan cuaca yang tidak mendukung dengan disertai hujan sehingga
mereka memutuskan untuk bermalam di hutan Glagah tersebut. Merka pun membuat
tenda di hutan untuk dibuat tidur untuk mereka
dan mereka akan memulai aksinya di esok hari.
“Wahai
ketiga saudaraku” terpaksa kita bermalam dihutan Glagah ini karena cuaca yang
dingin dan dengan disertai hujan turun, kita tidak bisa memulai aksi kita” kata
Nyai Ageng Shelang. “baiklah tuanku”. Jawab ketiga saudara laki-laki (dengan
serentak). “kami akan membuat tenda agar kita bisa tidur serta istirahat di
hutan Glagah ini” kata Ki Gedhe Sepandhan.
“ide
yang bagus saudaraku, terpaksa kita harus bermalam di hutan Glagah ini karena
cuaca yang dingin ini dan dengan disertai hujan turun. Kita tak bisa melakukan
apa-apa.” Kata Nyai Ageng Shelang.
Dalam
keletihan melewati perjalanan disepanjang jalan di sepanjang jembatan yang
terbuat dari bambu dan akhirnya mereka pun terlelap dalam tidurnya.
Hujan
pun berhenti, tak terasa merah matahari pun mulai muncul di balik awan pagi
hari hingga Nyai Ageng Shelang pun terbangun dari lelap tidurnya.ia pun bangkit
dan keluar dari bilik tempat tidurnya dan tak lupa membangunkan ketiga saudara
laki-lakinya yang masih terlelap dalam kelelahan tidurnya.
Setelah
itu Nyai Ageng Shelang bersama ketiga saudaranya mempersiapkan peralatan untuk
memulai aksinya dan peralatan tersebut hanya Parang & Api. Parang dibawa
oleh ketiga saudara laki-laki dan Api dibawa oleh Nyai Ageng Shelang.
Kemudian
mereka membabat rerimbun tanaman di hutandengan menggunakan Parang kemudian
setelah di babat lalu di kumpulkan lalu di bakar.
Tak
lama kemudian api pun merambat sampai ke hutan Glagah itu.setelah hutan Glagah
terbakar semua Nyai Ageng Shelang mengeluarkan ilmu andalanya Pethak Baginda
Sulaiman. Ketika Nyai Ageng Shelang mengeluarkan ilmu tersebut munculah angin
putting beliu g yang sangat besar sekali sehingga membuat serpihan api atau
(langes) menyebar dan menjadi wilayah kekuasaan bagi Nyai Ageng Shelang tetapi
saat terjadinya wilayah tersebut keadaan masih banyak rawa
Selama
hidup, nyai Ageng Shelang bekerja
sebagai Petani.
Karena jaman dahulu belum pernah ada
jembatan yang terbuat dari besi dan beton dan saat mau pergi ke sawah dank e
hutan selalu melewati WOT (jembatan dari bambu atau kayu) sehingga dari kata
WOT tersebut akhirnya Nyai Ageng Shelang menamakan daerah tersebut menjadi DESA
WOTAN.
Itulah
cerita asal usul desa WOTAN (genderuWO dan seTAN).
Desa wotan
sendiri terdiri dari beberapa Pedukuh antara lain:
1.
Dukuh SUKUNAN.
Dinamakan Dukuh
Sukunan karena dulunya di Desa Sukunan banyak sekali pohon Sukun sehingga warga
sekitar menyebutnya Desa SUKUNAN.
2.
Dukuh PANDEAN.
Dinamakan Desa Pandean karena
dulu di Desa Pandean ada seorang warga yang bekerja sebaga Pandai (pengrajin
benda dari besi atau pembuat pisau dan lainya). Ketika seorang warga yang bisa
Mandai tersebut meninggal dunia dan warisan beliau di teruskan oleh warga
sekitar dan akhirnya masyarakat menamai
Pedukuhan tersebut menjadi Dukuh PANDEAN.
3.
Dukuh KARANG ANYAR.
Dinamakan Dukuh Karanganyar karena dulunya belum ada
rumah satu pun di sekitar daerah tersebut adanya hanya ladang-ladang saja.
Setelah beberapa tahun kemudian ada beberapa daerah lain yang sering terkena
banjir ketika turun hujan dan warga lain daerah itu sangat was-was ketika turun
hujan sehingga warga dari laih daerah tersebut memutuskan untuk mengungsi
bahkan pindah mencari tempat yang lebih aman dan tempat itu adalah Dukuh KARANG
ANYAR.
4.
Dukuh KEDHUM.
Dinamakan Dukuh Kedhum darena berawal dari Punden (makam
yang dikeramatkan) Desa Wotan terletak diwilayah itu dan Punden tersebut
bernama Punden Kedhum. Sehingga masyarakat sekitar menyebutnya Dukuh KEDHUM
yang persis dengan nama pundenya.
5.
Dukuh CEMPLONG.
Dinamakan Dukuh
Cemplong karena awalnya jalan disekitar wilayah tersebut terdapat banyak sekali
JEMBLONGAN (jalan berlubang/rusak) sehingga dinamakan Dukuh CEMPLONGAN.
6.
Dukuh JONGSO.
Dinamakan Dukuh
Jongso karena waktu itu ada seorang yang bernama Yangkari. Beliau mempunyai
kedukuhan diwilayah tersebut. Saat itu kedukuhan tersebut hanya ada satu rumah
saja dan masyarakat yang belum punya tempat tinggal akhirnya membuat rumah di
wilayah Jongso hingga akhirnya Pedukuhan Jongso pun menjadi banyak. Itulah
cerita dari Dukuh JONGSO.
7.
Dukuh ASEM MANIS.
Dinamakan Dukuh Asem Manes karena dulu ada pohon asam
yang sangt tinggi dan besar sekali. Tak cuma tinggi dan besar pohon asam
tersebut juga berbuah asam yang rasanya manis sehingga masyarakat sekitar
menamainya Dukuh ASEM MANIS.
Dan masih
banyak yang lainnya....?
sejarah desa Bowong
SEJARAH DUKUH MBOWONG BESERTA PUNDENYA
Jaman dahulu kala ada seorang guru yang bernama Nyai Jati Sari.
Nyai jati sari
adalah seorang guru yang mempunyai kesaktian yang sangat hebat. Alkisah Pada
suatu hari
Nyai Jati Sari ingin berkelana bersama enam
(6) muritnya dengan mengendarai kuda dan mereka pun beristirahat di sebuah
hutan. Pada saat itu Nyai Jati Sari menyuruh para muritnya untuk membersihkan
hutan persinggahanya tersebut untuk dijadikan tempat peristirahatan dan
bermusyawarah. Setelah dibersihkannya hutan persinggahan tersebut dibuatlah
sebuah pondokan kecil untuk dijadikan tempat berteduh. Nyai Jati Sari beserta
enam (6) muritnya dan Kuda-kudanya. Setelah pondokan itu jadi tiba-tiba
disekitar pondokan tersebut keluarlah sumberan mata air yang keluar dari sebuah
batu yang berbentuk Kendi.
Suatu
hari ketika kuda yang ditunggangi oleh Nyai Jati Sari berjalan disekitar
pondokan, kuda tersebut melintasi sumber atau mata air tersebut kemudian air
sumberan tersbut diminum oleh kuda tersebut dan air yang semula keluar sangat
kecil kemudian perlahan menjadi semakin besar dan besar dari detik kedetik
sehingga menjadi sungai yang mengalir.
Pondokan
Nyai Jati Sari sendiri berdiri pada tahun 1937 dan daerah pondokan Nyai Jati
Sari pun di datangi oleh penduduk lain yang jumlahnya kurang lebih sepuluh (10)
orang. Daerah tersebut sangat tentram dan aman-aman saja sewaktu ikut bermukim
disitu.
Hingga
suatu hari ketika para pendatang lain sedang melakukan aktifitas tiba-tiba
melihat adanya pesawat yang disebut dari Londho (BELANDA) yang ingin menjajah.
Ketika pesawat itu terbang dan melintas di atas pondoan Nyai Jati Sati
tiba-tiba pesawat tersebut berhenti da kemudian meledak setelah beberapa menit.
Setelah mengetahui salah satu dari beberapa puluhan pesawat ada yang meledak
dan jatuh di sekitar pondokan Nyai Jati Sari kemudian pesawat Belanda pun turun
semua di tempat yang lumayan luas dan tidak jauh dari pondokan Nyai Jati Sari.
Jenderal
dari pasukan Belanda pun mengancam dan mengajak perang dengan penduduk yang
tinggal di sekitar pondokan Nyai Jati Sari tersebut tetapi penduduk tersebut
tidak berontak dan tidak berani melakukan apa-apa. Mereka hanya diam saja
karena heran dengan benda yang jatuh dari atas dan meledak yang di tumpangi
oleh Belanda tersebut.
Karena
warga tidak melakukan apa-apa dan hanya diam saja dan pasikan Belanda pun tidak
menghasilkan apa-apa kemudian pasukan Belanda kembali ke tempat mereka
mendaratkan pesawatnya dan memutuskan untuk pergi dari sekitar pondokan Nyai
Jati Sari.
Setelah
kepergian pasukan Belanda, enam (6) murit Nyai Jati Sari kembali ke pondokan
Nyai Jati Sari untuk bermusyawarah untuk mengatur setrategibagaimana caranya
melawan pasukan dari Belanda tersebut kalau-kalau mereka kembali.
Setelah
itu Nyai Jati Sari pun mengumumkan untuk bersiap-siap untuk menyiapkan senjata
kepada para penduduk kalau-kalau pasukan dari Belanda tersebut kembali lagi.
Pemikiran Nyai
Jati Sari pun benar-benar terjadi, pasukan Belanda pun kembali mendatangi
Pemukiman daerah Nyai Jati Sari untuk menyerang. Setelah pasukan Belanda
menyerang penduduk Lainya pun tidak tinggal diam dan dilawanlah pasukan Belanda
tersebut dengan menggunakan Bambu Runcing sehingga pasukan Belanda pun
menyerah.
Dan dari
kejadian perang antara warga pendatang beserta Nyai Jati Sari dengan pasukan
Belanda tersebut yang menjadikan pasukan Belanda keteteran, para pasukan
Belanda pun tidak berani mendatangi bahkan menginjak wilayah sekitar pondokan
Nyai Jati Sari lagi dan akhirnya pasukan Belanda pun pergi ke tempat lain.
Setelah Nyai
Jati Sari dan penduduk memenangkan perang tersebut kemudian Nyai Jati Sari pun
mengajak enam (6) muritnya untuk kembali kepondokan untuk bermusyawarah
kembali. Dari musyawarah tersebut Nyai Jati Sari dan keenam (6) muritnya
memutuskan untuk mengejar pasukan Belanda. Akhirnya Nyai Jati Sari memutuskan
untuk meninggalkan pondokan dari daerah itu dan mejadikan daerah tersebut desa.
Keesokan harinya
Nyai Jati Sari mendoakan pondokan tersebut agar bisa terhindar dari mara bahaya
dan memberikan nama untuk daerah pondokan tersebut dengan nama “MBOWONG”.
Diberi nama
“MBOWONG” karena sewaktu pertama kali diserang oleh para pasukan Belanda
penduduk di daerah tersebut melolak-melolok tidak bisa apa-apa dan sampai
sekarang pun Pundeng Nyai Jati Sari masih dirawat oleh warga dan desa tersebut
sampai sekarang pun masih bernama “MBOWONG”.
Desa “MBOWONG”
terletak disebelah timur desa Krasak, sebelah barat Ploso Kunung, sebelah
selatan desa Ngawen, sebelah utara desa Ngajaran di desa SUKOLILO.
Sekian, cekap semanten, terima
kasih dan maturnuhun
Langganan:
Postingan (Atom)